Kamis, 16 Januari 2014

Belajar Dari "Mereka"



            
 Sore itu, saat mentari mulai tenggelam, keramaian tiba-tiba menghampiri daerah kami. Aku hanya bisa menebak, menduga-duga dengan berbagai kemungkina, “Ah, mungkin ada yang sedang bertengkar, atau “ Barangkali ada yang arisan.” serta berbagai kemungkinan lainnya.

Hingga tepat pukul 19.00 ketika aku temanku keluar untuk membeli makan, sebuah bendera merah cukup menjadi penjelas, jawaban atas berbagai dugaan. Ya, keramaian itu karena tetangga kos kami sedang berduka cita.

Sepulang dari makan malam, kami berinisiatif untuk ta’ziyah, Tempat duka berada dekat dengan kos, jaraknya hanya 2 rumah dari kosan kami, sehingga cukup berjalan kaki maka sampailah kami di tempat. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 19.30 WIB.

Seperti yang sudah aku duga sebelumnya, ada yang berbeda pada ta’ziyah kali ini, dan ternyata benar, saat aku bersama teman memasuki rumah duka, karena bukan kain kafan putih yang aku lihat, bukan juga suara tahlilan yang aku dengarkan, melainkan jenazah yang sedang mengenakan jaz berwarna hitam dalam keheningan malam. Sepi.

Tak  hanya itu, kejutan lain adalah saat aku melihat sekeliling, tak ada kesedihan yang terpancar dari kerabat dekat mereka, bahkan dengan cekatan seorang istri mempersiapkan keperluan dari jenazah, suaminya sendiri.  Tanpa air mata, tanpa wajah penuh kesedihan.

Keesokan harinya aku menceritakan kejadian itu kepada teman di kampus, berdiskusi dengan teman non muslim,  Aku bertanya dengan hati-hati, “Semalam aku habis ta’ziah tapi aku bingung kok keluarganya tidak ada yang menangis.” Ucapku di pertengahan cerita.

Tanpa menunggu waktu yang lama, dia kemudian menjawab, “Ngapain nangis, orang dia mau ketemu Bapa” (Tuhan kepercayaan Mereka)

Deg. Aku hanya bisa membisu, tidak tahu harus menjawab apa.

         Hari itu, aku belajar dari mereka. Mereka yang non muslim, belajar bagaiman mereka menyikapi sebuah musibah. Karena benar,  Sesungguhnya hari yang paling dinanti oleh setiap umat manusia adalah hari dimana ia bisa bertemu dengan Sang Maha Pencipta, dan itu hanya bisa dilalui dengan kematian.
 Tapi entahlah, saat aku kehilangan orang yang disayangi apakah aku bisa sekuat mereka, tak menangis, entahlah.

            Karena setiap yang bernyawa pasti akan menemui kematian. Dan ketika saat itu tiba, semoga Islam yang menjadi agama pertama dan terakhirku, semoga asma Allah yang terucap saat sakharatul maut, dan semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami.

Surakarta, 7 November 2013

0 komentar:

Posting Komentar