Senin, 13 Oktober 2014

Saya Bisa, Kamu Juga Pasti Bisa Donor Darah


Hari saya mendapatkan kabar dari facebook dan sms yang mengatakan kalau besok ada donor darah, ah, sudah 7 bulan saya tidak donor darah, rasanya sudah lama sekali. Namun saya tidak bisa untuk donor darah besok, karena sedang  datang tamu bulanan, aaaaaah, mungkin lain kali, semoga bisa ikutan. Tidak apa-apa.

Hal ini membuat saya terinspirasi buat nulis ini, dan kesempatan ini saya ingin menceritakan awal mula saya memberanikan diri untuk donor darah.
Bismillahirrohmanirrohim.

Tercatat di kartu donor, tanggal 15 September  2011 adalah pertama kali saya donor darah. Saat itu saya masih ingat ada seorang teman yang hendak donor darah, namanya Lala, dia mengajak saya dan beberapa teman lain, dan enatah kenapa tanpa berpikir panjang saya memutuskan  untuk ikut donor darah, hari itu juga.

Namun, sungguh benar-benar tanpa sebab, saya tak berpikir panjang kala itu, seperti yang dipikirkan orang kebanyakan saat saya mengajaknya donor darah, seperti alas an,
 “Ah ngga ah, saya kan darah rendah,”
“Saya takut jarum suntik,”
 “Saya takut darah,”
“Saya darah rendah”
“Nanti kalau donor darah katanya bikin gendut”
“Saya takut ketagihan,” dan alasan lainnya.

Rupanya ternyata benar, saat pertama kali mendaftar untuk donor darah, saat di test di bagian pendaftaran Alhamdulillah saya lolos untuk donor, tapi dengan “peringatan” .Saya masih ingat apa yang dikatakan dokter saat itu “ Mba Yuli, ini Hb nya pas banget, nanti kalau pusing bilang ya.”

Dalam hati saya terus menguatkan diri saya, saya pasti bisa. Saat pertama kali saya melihat jarum, Subhanallah, saya lupa rasanya disuntik, dan saat itu yang saya pikirkan hanya “Kenapa jarumnya sebesar itu?” Namun saya terus meyakinkan diri, terlebih saat dokter berkata “Tidak sakit kok mba, rasanya kayak digigit semut.” Namun saya benar-benar tidak pernah percaya dengan apa yang dikatakan dokter, “Rasanya emang seperti digigit semut, tapi semutnya seratus ibu dokter yang cantik,” ucap saya dalam hati. Sehingga saat jarum itu pertama kali menancap di tangan saya, saya hanya bisa menoleh. Dan sekali lagi, saya menguatkan diri saya, ingat Ibu yul, Ibu. Ketika darah pertama kali mengucur dan tertampung saya mulai berani meliriknya, ada rasa bangga melihatnya. Ibu lihatlah, akhirnya saya bisa donor darah.

Puji Syukur, sepanjang donor saya baik-baik saja. Namun setelah selesai donor, memang sedikit pusing, mungkin ini karena factor Hb yang tadi dibilang ibu dokter,. Rasanya senag sekali, Alhamdulilillah, hari ini saya bisa menyumbangkan 1 kantong darah untuk mereka yang membutuhkan.
Dan ini adalah alasan saya kenapa saya memutuskan untuk donor darah.

Beberapa tahun silam, saat itu usia saya masih 15 tahun, baru menginjak kelas 1 SMA. Diawal bulan Ramdhan Ibu sakit, sampai saat ini saya tidak tahu sebenarnya ibu sakit apa, yang saya tahu Ibu menstruasi tapi sudah hampir 1 bulan tidak sembuh, Ibu tampak pucat sekali kemudian Bapak membawa Ibu ke rumah sakit untuk berobat. Selesai berobat, saya bingung melihat bapak dan ibu memasukkan beberapa baju ke dalam tas, dan saat saya bertanya saat itulah saya tahu, ibu harus di opname.

Saya lupa, berapa hari ibu di opname di rumah sakit, yang saya ingat ibu membutuhkan kantong darah. Usia saya saat itu kurang dari 17 tahun hanya bisa menyaksikan ibu menahan sakit. Saya bertambah sedih, karena saat itu bulan Ramadhan, entah kenapa pasokan darah di rumah sakit terbatas, aku yang saat itu berusia kurang dari 17 tahun hanya bisa melihat ibu menitikkan air mata.

Dalam kondisi seperti itu Ibu bahkan tidak memperbolehkan saya untuk menghubungi kakak (yang saat itu bekerja di Jakarta) mengabarkan bahwa Ibu sakit dan membutuhkan darah. Segera mungkin, Bapak menghubungi kerabat kami, Alhamdulillah Ibu mendapatkan beberapa kantong darah dan setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit akhirnya Ibu Sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasanya. Usia saya saat itu kurang dari 17 tahun, dan saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Sejak saat itu saya berjanji, setelah usia saya 17 tahun saya ingin donor darah. Dan Alhamdulillah, saya bisa donor darah meskipun baru terealisasi di usia 18 tahun.

Buat teman-teman yang memiliki keinginan untuk donor darah, jangan takut. Sungguh saya pun bukan orang yang pemberani, selama 6 kali saya donor saya tak pernah berani melihat jarum donor dimasukkan ke tangan, karena saya takut.

Saya juga takut darah, tapi entah kenapa melihat darah itu menetes demi tetes dan membayangkan wajah senyum Ibu rasa takut itu berubah menjadi rasa senang,

Atau mungkin masalah Hb, Hb saya juga pas, bahkan beberapa kali saya juga pernah ditolak donor darah karena Hb saya rendah, justru hal itulah yang mebuat saya termotivasi untuk menyukai sayur-mayur.

Ada yang bilang donor darah bikin gendut, itu bohong banget, karena saya donor darah berat badan saya gampang naik dan turun tergantung apa yang saya makan, bukan karena factor donor J

Kalau donor darah bikin ketagihan, so what gitu loh? Apa salahnya ketagihan untu berbuat baik? Toh darah kita ngga habis kan, Daripada ketagihan Rokok atau Narkoba? Uuppps.

Namun, buat yang memang belum mampu donor darah karena beberapa factor yang tidak diperbolehkan oleh dokter, jangan dipakasakan ya.

Pesan saya, untuk kalian yang mampu donor darah tapi tidak berani, ingatlah kata-kata di bawah ini :

“Jangan takut donor darah, takutlah jika kamu membutuhkan darah, tapi tidak ada yang memberikan darah padamu.” 

Sabtu, 20 September 2014

Kita Cinta Umi Dan Teteh

Bismillahirrohmanirrohim,
            Alhamdulillah, akhirnya berkesempatan buat nulis ini. Beberapa hari yang lalu, saya dan beberapa teman saya mengikuti sebuah acara Bincang Bincang Muslimah (BBM) yang diselenggarakan oleh BPPI FEB UNS, dimana pada acara tersebut menghadirkan tokoh muslim yang tidak asing lagi yaitu Umi Pipik Dian Irawati dan Teteh Yulia Rachman, dua sosok wanita berhijab dengan kisah hidup yang sangat menginspirasi.

            Tema pada bincang-bincang muslimah (BBM) kali ini adalah “Hijab Covers My Head, Not My Mind”. Mayoritas yang hadir dalam acara ini memakai hijab, karena BBM ini memang diperuntukkan kaum hawa. Ada yang unik dari selama saya mengikuti acara BBM ini, ceritanya begini : malam hari sebelum acara BBM dimulai, teman saya, sebut saja Dwi sudah merencanakan dan disampaiakan idenya kepada seluruh penghuni kosan untuk berangkat pukul 06.30, padahal di dalam tiket yang telah kami beli tertera dengan jelas bahwa acara dimulai pukul 07.30. Mendengar rencananya, saya pikir itu hanyalah sebuah wacana saja, namun saya keliru, karena keesokan harinya seusai sholat Subuh ternyata Dwi langsung mandi yang kemudian dilanjutkan dengan logatnya yang khas menggema ke seluruh penjuru kamar membangunkan penghuni kosan lainnya. Termasuk saya yang akhirnya dengan segenap kemampuan memutuskan mandi pukul 06.00.  Hari itu, 14 September 2014 pukul 06.30 kami berlima berangkat menuju tempat kejadian.

            Sesuai prediksi, tempat untuk acara masih sepi, hanya ada beberapa panitia yang berada di tempat pendaftaran. Kertas untuk absensi belum tertata, apalagi snack jangan ditanya. Saya memakluminya untuk keadaan yang pertama ini. Kami segera masuk ke dalam ruangan yang sepi, bahkan kami sempat berfoto di depan panggung.

Karena rasa lapar yang tak tertahankan, Mba Yuni dan Mba Lisa memutuskan untuk keluar dan mencari sesuap roti untuk kami yang tengah kelaparan karena saat itu panitia belum memberikan kami snack dan belum banyak peserta yang hadir. Dan ini hasilnya.

            Tak ada gading yang tak retak, dan sesuai prediksi acara ini molor hingga hitungan jam, sambil menunggu kedua pembicara hadir, kami ditemani oleh MC yang menurut kami “Krik-krik” Alhasil, kami lebih memilih menyibukkan diri dengan menge-tweet ke BPPI FEB UNS mengenai kegiatan BBM ini, “hanya iseng-iseng saja barangkali nanti bisa dapat doorprize.” ucap salah satu teman saya, dan ini keisengan tweet kami.

            Bincang-bincang muslimah di awali dengan perbincangan hangat dengan teteh Yulia Rachman. Beliau menceritakan bagaimana ia memutuskan untuk berhijab melalui kisah hidupnya. "Yulia Rachman berhijab karena jawabannya satu, takut mati." ucapnya dengan mantap mengawali perbincangan pada hari itu. "Kita bukanlah makanan kaleng, yang sudah ada tanda expired-nya, sehingga sewaktu-waktu kita bisa dijemput kapan saja." tambahnya dengan gaya bicaranya yang lemah lembut. Pada kesempatan tersebut Teteh yang kini semakin terlihat cantik dengan hijab yang menjulur ditubuhnya juga menambahkan bahwa agar kita istiqomah caranya adalah dalam melakukan apapun, lakukanlah semata-mata karena Allah, dan banyak-banyaklah berfikir hal yang melibatkan Allah. Subhanallah, sosok yang sangat menginspirasi dengan kesulitan-kesulitan yang pernah menimpanya, namun tetap terlihat tegar.

            Pembicara kedua adalah Umi Pipik, beliau juga memiliki kisah hidup yang pelik, dari saat beliau menjadi anak "Piatu" ketika masih kanak-kanak dan memutuskan untuk menjadi model, pertemuan dengan almarhum suaminya, Ust Jefry dan kisah lainnya. Saya terharu mendengar kisah beliau yang akhirnya memutuskan untuk  berhijrah, dari yang tadinya adalah model dengan pakaian yang serba minim, kemudian memakai jilbab namun saat menjadi model lepas jilbab lagi karena faktor ekonomi, dan kini beliau telah mantap menjulurkan hijab ke seluruh tubuhnya. Satu hal yang membuat beliau memutuskan berhijab adalah kata-kata dari almarhum Ust Jefry saat beliau mendapat tawaran bermain iklan namun harus melepas jilbab, Ust Jefry yang saat itu belum menjadi Ustadz mengatakan : "Jika mereka bisa menjamin kamu masuk surga saat melepas jilbab, silahkan ambil saja tawaran itu, jika tidak, maka jangan"
Saat mendengar itu, beliau sadar dan memutuskan untuk berhijab dan menjadi ustadzah :)

           Puncak dari semua kejadian hari ini adalah ini (apaaan sih). Saat moderator mulai membacakan kesimpulan dan meminta pembicara untuk berfoto dengan panitia, kami berlima mengangkat tangan kami secara serempak membawakan kertas yang kami siapkan dari kosan, dimana di kertas tersebut berisi tulisan yang berbunyi “We Love Umi Pipik Dan Teteh Yulia Rachman Keep Strong”. 
          
         Saya masih tidak menyangka, saya ikut menjadi bagian dari orang yang mengangkat kertas ini. Hahahahaaa.. karena biasanya saya suka memndang sebelah mata orang-orang yamg melakukan hal seperti ini saat saya melihat acara musik di televisi, Namun, hari ini saya melakukannya. Ide ini siapa lagi yang menciptakan kalo bukan teman saya yang berinisial D, dan hasilnya memang cemerlang. Saat umi Pipik melihat kami mengangkat kertas, Teteh Yulia Rachman segera memfoto kami dari atas panggung, dan beberapa tamu undangan di depan kami juga ikut mengabadikan moment ini. Malu.

Saat moderator meminta Umi Pipik dan Yulia Rachman berfoto dengan panitia, Umi Pipik malah menjawab : “Saya mau berfoto dengan yang membawa kertas itu.”
Kami berteriak senang. Rasa malu itu terbayar sudah. Beberapa orang di belakang kami memandang kami sinis, kami cuek saja dan maju ke atas panggung. Namun, kami kecewa terhadap panitia karena  tidak bisa mengkondisikan suasana. Banyak peserta lain yang ingin ikut berfoto kemudian berebutan maju ke depan sehingga keadaan kurang terkendali, dan kami semakin kecewa melihat hasil fotonya, bluuuuur… 


Foto bareng Umi Pipik

Foto bareng Teteh Yulia Rachman

Umi Pipik bersama Dwi

Tapi tak apa, karena di akhir acara mendapatkan iniiiiii, hahaaaaaaahahaa..

Alhamdulillah, hari ini saya benar-benar pengalaman baru dan juga ilmu baru. Setelah acara ini semoga ke depan kami benar-benar bisa ber-Hijrah ke tempat yang lebih baik lagi. 

Saya belajar, saya mengetahui, saya mencoba kemudian saya terbiasa.

Namun, semuanya membutuhkan proses. Hijab. Hijab bukanlah jaminan seseorang masuk surga, seperti yang disampaikan Umi Pipik.  Hijab juga bukan merupakan alat ukur keimanan seseorang. Sehingga orang lain tak berhak menilai amal ibadah kita, karena setiap orang memiliki prosesnya masing-masing. Semangat berproses, semoga bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. dan suatu hari nanti bisa benar-benar berhijrah. Belajar pelan-pelan yuk J

                           Solo, 19 September 2014

Rabu, 17 September 2014

Selamat Datang PPL

PPL, akhirnya saya benar-benar mengalaminya. Masih belum sepenuhnya percaya sekarang saya duduk di bangku semester 7, tidak menyangka sudah sejauh ini saya melangkahkan kaki di pendidikan kimia UNS, dan menyaksikan tumpukan laporan praktikum selama 6 semseter sudah semakin meninggi. Alhamdulillah.

PPL atau Program Pengalaman Lapangan adalah suatu program yang merupakan ajang pelatihan untuk menerapkan berbagai pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam rangka pembentukan guru yang profesional.

Saya mendapat kesempatan untuk PPL di SMA Negeri 7 Surakarta, Alhamdulillah salah satu harapan saya untuk PPL di SMA Surakarta tercapai dan SMA 7 adalah jawabannya, begitu pula dengan pembimbing, Saya berkesempatan dibimbing oleh Ibu Sri Lestari. Seorang guru pamong yang keibuan, yang sangat mengerti keadaan mahasiwa. Puji syukur, Allah mengabulkan apa yang menjadi prasangka hambanya, “Tulislah mimpi-mimpi anda secara nyata, jangan anda tulis dalam ingatan saja, karena pasti anda akan lupa,” Kata-kata dari seorang itulah yang membuat saya ingin menulis apa yang saya impikan yang membuatku semakin percaya bahwa tidak ada mimpi yang kecil, dan apapun mimpimu tak ada salahnya untuk kamu abadikan di dalam kertas agar kamu dapat terus mengingatnya dan Alhamdulillah Allah memberikan jalan.

Kembali lagi ke PPL,
Hampir seluruh sekolah SMA di Solo  pembelajaran dimulai pukul 06.30. Dan untuk di SMA N 7 Surakarta, jam kegiatan belajar mengajar diakhiri pukul 13.50. Sehingga mengharuskan untuk berangkat dari kos pukul 06.00 untuk menghindari kemacetan, karena di Solo sangat berbeda dengan di kota kelahiran saya, Cilacap.

Saya adalah termasuk orang yang sulit untuk bangun pagi, karena saya terbiasa bangun dan tidur lagi setelah sholat subuh (jangan ditiru ya), sehingga saya  meminta bantuan teman saya, Wulan untuk membangunkan saya via telepon karena khawatir saya bangun kesiangan.Sudah hampir 2 minggu saya membiasakan diri untuk tidak tidur setelah sholat subuh (semoga saja bisa bertahan lama) dan bangun pagi, semoga ini bisa bertahan lama, aamiin J

Guru, di tempat inilah seorang guru mengabdikan dirinya, memberikan semua ilmu yang ia punya tanpa terkecuali, entah itu di diperhatikan atau tidak oleh muridnya. Namun mereka tetap memberikan ilmunya tanpa kenal lelah.

Lewat Ibu Sri Lestari, saya melihat sosok figur guru yang seperti itu, saya belajar untuk tetap bersemangat meskipun sebenarnya saya tahu hal tersebut sangat melelahkan, beliau selalu ramah terhadap murid-muridnya meski beliau mengajar sampai 8jam pelajaran dalam sehari. Seorang guru yang disegani, karena murid-murid tak takut menyapanya J

Senin, 01 September 2014

Thank’s to Allah, I Can Meet With You

Alhamdulillah, sudah mulai memasuki hari di penghujung bulan Agustus, yang menandakan liburan semester 6 telah usai dan semester 7 siap menyapa. 

Liburan yang sangat berkesan.

Terimakasih Allah, di liburan ini kau telah mempertemukanku dengan  orang-orang luar biasa di tempat yang tak pernah aku duga, di Desa Gondangsari, Juwiring, Klaten.

Pertemuan itu dimulai dari KKN atau yang biasa disebut Kuliah Kerja Nyata. KKN  adalah sesuatu yang tadinya menjadi momok yang sangat menakutkan. Entahlah setiap kali mendengar kata KKN berbagai prasangka buruk selalu muncul dalam benak saya. Tapi sekali lagi, apa yang kita pikirkan seringkali melebih-lebihkan dari kenyataaan yang terjadi.

Langkah pertama adalah langkah yang paling sulit, agaknya saya sangat setuju dengan perumpamaan itu. Pertama kali bertemu dengan teman-teman baru bukanlah hal yang mudah untuk beradaptasi, terlebih saya yang tadinya mendaftar di KKN Reguler tiba-tiba bergabung denagan tim inti KKN Dikti UNS yang kebanyakan sudah mengenal satu sama lain, tapi Alhamdulilah seiring dengan berjalannya waktu kami juga bisa mengenal satu sama lain.

Tim KKN Dikti UNS terdiri dari 49 anggota yang dibagi-bagi lagi menjadi beberapa tim, nah saya bersama 8 orang lainnya tergabung di Tim KKN Kadus I bersama Wiwit, Inayah, Lia, Firly, Sofi, Lynda, Isa dan Widodo.

Ada banyak program yang kami rencanakan di kelompok kami selama 1,5 bulan KKN, yaitu Handycraft (Kerajinan Tangan), Sosialisasi Hidup Sehat, Pendidikan Kewirausahaan, Apotek Hidup, Bank Sampah, Perayaan 17an, Karang Taruna, Mini Garden, dan TPA. tapi bukan itu yang akan saya bahas pada tulisan ini J

Jika cinta datang karena terbiasa, maka mungkin kini saya sedang jatuh cinta, bahkan setelah KKN ini berakhir, jatuh cinta pada anak-anak (padahal dulunya jaga jarak), jatuh cinta pada pendidikan (terutama pendidikan sekolah dasar), dan jatuh cinta pada yang Maha Memberi Cinta

KKN membuat saya semakin bersyukur, tentang hakikat waktu (menjadi sangat menghargai setiap detik saat berkumpul dengan keluarga dan sahabat), hakikat persahabatan (betapa pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama), dan atas berbagai pengalaman baru yang telah saya dapatkan.

Tim KKN Kadus I

Tim KKN Dikti UNS #JWR49







Jumat, 17 Januari 2014

Pasar Tradisional

Meskipun di era modern seperti ini banyak swalayan atau mini market berdiri, pasar tradisional masih menjadi pilihan utama untuk berbelanja sayur-mayur, karena masih segar dengan harga yang pastinya lebih terjangkau.

Rutinitas di pasar ini masih sama, ada penjual, pembeli dan tentunya ada transaksi tawar-menawar, namun urusan yang terakhir mungkin perlu di garis bawahi, entah bapak yang kurang ahli dalam tawar menawar atau memang sudah menjadi watak lelaki ingin cepat dalam berbelanja, ah yasudahlah karena aku disini hanya menjadi asisten bapak dalam berbelanja, yang bertugas dalam memilih, memilih dan memilih sayur-mayur yang hendak di beli.

Tiga pulu menit adalah waktu yang dirasa cukup untu menyeleseaikan misi pagi ini. Yap, singkat, padat dan menghasilkan barang, tidak seperti aku yang mungkin membutuhkan waktu berjam-jam untuk membeli sesuatu namun ternyata tidak mengasilkan apa-apa -_-

Pasar, pasar, dan pasar. Entahlah sampai kapan tempat ini akan berdiri kokoh di desa kami, apalagi dengan banyaknya mini market yang mulai menjamur. Aku masih ingat, sebulan silam bahkan sudah ada 1 alfamart baru yang berdiri dengan kokohnya di jalan yang sama dengan jarak  tak kurang dari 1 km dari alfamart yang sudah lama berdiri sebelumnya.

Seperti yang sudah aku sampaikan di awal bahwa pasar masih menjadi pilihan, hal tersebut dibuktikan dengan masih ramainya pengunjung di pasar, namun tak dipungkiri, dengan semakin menjamurnya mini market seperti alfamart, indomart yang tentunya memiliki tempat yang “lebih nyaman” bukan hal yang tak mungkin lagi jika suatu hari nanti pasar akan hilang dari masyarakat. Terlebih lagi di mini market sering diadakan diskon atau potongan harga daripada pasar yang tidak ada istilah diskon akhir tahun atau hari besar.

Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini harus melakukan renovasi dan penataan pasar agar pasar tradisinal memiliki daya saing sehingga dapat menarik perhatian masyarakat untuk kembali lagi ke pasar tradisional.


Cilacap. 18 Januari 2014

Kamis, 16 Januari 2014

Belajar Dari "Mereka"



            
 Sore itu, saat mentari mulai tenggelam, keramaian tiba-tiba menghampiri daerah kami. Aku hanya bisa menebak, menduga-duga dengan berbagai kemungkina, “Ah, mungkin ada yang sedang bertengkar, atau “ Barangkali ada yang arisan.” serta berbagai kemungkinan lainnya.

Hingga tepat pukul 19.00 ketika aku temanku keluar untuk membeli makan, sebuah bendera merah cukup menjadi penjelas, jawaban atas berbagai dugaan. Ya, keramaian itu karena tetangga kos kami sedang berduka cita.

Sepulang dari makan malam, kami berinisiatif untuk ta’ziyah, Tempat duka berada dekat dengan kos, jaraknya hanya 2 rumah dari kosan kami, sehingga cukup berjalan kaki maka sampailah kami di tempat. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 19.30 WIB.

Seperti yang sudah aku duga sebelumnya, ada yang berbeda pada ta’ziyah kali ini, dan ternyata benar, saat aku bersama teman memasuki rumah duka, karena bukan kain kafan putih yang aku lihat, bukan juga suara tahlilan yang aku dengarkan, melainkan jenazah yang sedang mengenakan jaz berwarna hitam dalam keheningan malam. Sepi.

Tak  hanya itu, kejutan lain adalah saat aku melihat sekeliling, tak ada kesedihan yang terpancar dari kerabat dekat mereka, bahkan dengan cekatan seorang istri mempersiapkan keperluan dari jenazah, suaminya sendiri.  Tanpa air mata, tanpa wajah penuh kesedihan.

Keesokan harinya aku menceritakan kejadian itu kepada teman di kampus, berdiskusi dengan teman non muslim,  Aku bertanya dengan hati-hati, “Semalam aku habis ta’ziah tapi aku bingung kok keluarganya tidak ada yang menangis.” Ucapku di pertengahan cerita.

Tanpa menunggu waktu yang lama, dia kemudian menjawab, “Ngapain nangis, orang dia mau ketemu Bapa” (Tuhan kepercayaan Mereka)

Deg. Aku hanya bisa membisu, tidak tahu harus menjawab apa.

         Hari itu, aku belajar dari mereka. Mereka yang non muslim, belajar bagaiman mereka menyikapi sebuah musibah. Karena benar,  Sesungguhnya hari yang paling dinanti oleh setiap umat manusia adalah hari dimana ia bisa bertemu dengan Sang Maha Pencipta, dan itu hanya bisa dilalui dengan kematian.
 Tapi entahlah, saat aku kehilangan orang yang disayangi apakah aku bisa sekuat mereka, tak menangis, entahlah.

            Karena setiap yang bernyawa pasti akan menemui kematian. Dan ketika saat itu tiba, semoga Islam yang menjadi agama pertama dan terakhirku, semoga asma Allah yang terucap saat sakharatul maut, dan semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami.

Surakarta, 7 November 2013

Episode Kehidupan




Hari itu, tangan kami saling berjabat tangan, usai kami mengeluarkan penat kami masing-masing, sebuah impian untuk mengakhiri sebuah cerita.

Tentang suatu rencana di masa mendatang, untuk kembali mengawali sebuah episode kehidupan,

Bukan seperti apa cerita ini akan berakhir yang kami bicarakan, karena  yang terpenting adalah bagaimana kami memulainya.

Hari itu, adalah sebuah awal, yang kembali menjadi pengingat, untuk mimpi-mimpi kehidupan

Semoga Allah memberikan kemudahan,

Membukakan jalan untuk orang-orang yang tak pernah berhenti berjuang.


Surakarta, 11 Desember 2013